Thursday, December 11, 2008

LUDRUK

Matahari siang tepat di atas ubun-ubun. Keringat membasahi tubuh. Entah karena terik matahari atau keringat dingin karena ketakutan. Satu anak bertugas menggergaji sementara yang lain menutupi agar tidak terlihat orang lain. Semua berdebar-debar. Semua gemetar.


Tidak sampai dua puluh menit selesai sudah. Sebuah lubang terbentuk di pagar anyaman bambu itu. Tetap rasanya berjam-jam. Padahal ukuran lubang hanya sebesar tubuh anak-anak usia 11 tahun. Setelah itu potongan gedek kami tempelkan kembali sehingga tampak seperti semula. Sepintas tidak akan terlihat ada lubang bekas gergajian di sana.

Malamnya, berjingkat-jingkat, kami menuju belakang gedung. Suasana temaram. Satu per satu kami mulai mbrobos ke dalam gedung melalui lubang kecil yang kami buat siang tadi. Siapa yang masuk terakhir, harus menutup kembali lubang tersebut. Itulah aturan mainnya. Setelah di dalam, kami langsung berbaur dengan penonton.

Saya tinggal di Jalan Cisadane, Surabaya. Sekitar satu kilometer dari rumah saya ada sebuah lapangan. Mirip alun-alun. Fungsinya serbaguna. Selain tempat bermain, lapangan itu juga sering dipakai untuk pertunjukkan ludruk, teater khas Jawa Timur, mirip ketoprak di Jawa Tengah.

Biasanya kelompok ludruk yang main di situ akan membangun sendiri gedung pertunjukkan. Kalau saya bilang �gedung pertunjukkan�, jangan membayangkan macam-macam. Bayangkan saja sebuah panggung dari papan, beratapkan seng, dengan dinding anyaman bambu atau gedek. Di sekeliling gedung akan diberi pagar anyaman bambu setinggi dua meter yang menjadi tembok pembatas antara mereka yang di luar dan penonton di dalam.

Penonton harus membeli tiket. Tidak ada nomor bangku. Siapa cepat dia akan duduk di deretan paling depan. Paling dekat dengan panggung. Bangkunya juga terbuat dari bambu yang memanjang. Kalau penonton penuh, duduknya berhimpit-himpitan. Uniknya, tidak ada yang keberatan. Semua happy.

Waktu itu usia saya 11 tahun. Bersama teman-teman sebaya, yang tidak mampu beli tiket, kami biasanya menerobos melalui lubang di tembok gedek yang kami gergaji pada siang hari. Pekerjaan menggergaji memang lebih aman dilakukan siang hari karena hampir semua pemain dan pengurus perkumpulan ludruk tidak berada di tempat. Mereka biasanya punya kegiatan atau pekerjaan lain. Gedung kosong. Saat itulah kami mulai beraksi membuat �lubang rahasia�.

Biasanya lubang yang kami buat cuma efektif sampai tiga hari. Setelah itu akan ketahuan oleh pengelola gedung pertunjukkan lalu ditutup dan dijaga. Lampu neon tambahan juga akan dipasang. Jadilah kami gigit jari lagi. Modus operandi seperti ini akan kami pakai lagi kalau ada kelompok ludruk lain manggung di sana. Nanti ketahuan lagi, ditutup lagi, dijaga lagi, lalu kami gigit jari lagi.

Kalau sudah begitu, biasanya strategi berikutnya akan kami jalankan. Kami akan berdiri di sekitar loket. Jika ada yang beli tiket, biasanya orang dewasa, kami akan memohon agar dibolehkan nunut alias numpang untuk ikut masuk. Caranya dengan menggandeng tangan orang tersebut. Sepintas mirip orang tua yang membawa anaknya nonton. Tidak semua pengelola gedung mengijinkan satu tiket untuk dua orang. Tetapi taktik ini kerap berhasil.

Saya termasuk yang sering nunut. Suatu hari, ada seorang nenek bersama satu anak perempuan dan dua cucu laki-lakinya membeli tiket. Pakaian mereka sangat sederhana untuk tidak dibilang lusuh. Nenek itu membawa rantang berisi jajan untuk anak dan cucunya. Penonton yang tidak punya banyak uang biasanya membawa sendiri makanan dari rumah. Maklum, pertunjukkan bisa berlangsung lebih dari tiga jam.

Kepada nenek itu saya memohon agar bisa nunut. Dia jatuh kasihan dan membolehkan saya ikut. Bahkan tangan saya digandengnya. Tetapi, begitu di depan pintu, petugas melarang saya masuk. Sang nenek berusaha meyakinkan petugas bahwa saya cucunya. Penjelasan yang menggelikan, memang, mengingat secara fisik saya sangat berbeda. Dengan kulit putih dan rambut keemasan, tidak mudah meyakinkan siapa pun bahwa saya cucunya.

Dengan susah payah nenek itu meminta agar saya diperbolehkan masuk. Sang penjaga pintu tetap tidak mengijinkan. Mungkin wajah saya sudah dikenali karena hampir setiap malam muncul di situ. Mereka terus berdebat. Karena mulai ketakutan, saya lalu pergi menjauh. Tetapi, di luar dugaan, sang nenek memanggil saya untuk kembali. Dia merogoh kutangnya lalu mengeluarkan sejumlah uang recehan, menghitungnya sejenak, kemudian bergegas ke loket.

Rasanya tidak percaya. Nenek itu membelikan saya tiket dengan sisa-sisa uangnya. Tiket itu lalu diberikan ke saya. �Saiki kowe iso mlebu,� ujarnya dalam bahasa Jawa sembari tersenyum. �Sekarang kamu bisa masuk,� katanya.

Kenangan itu sangat membekas. Bahkan sampai detik ini. Kalau mengingat peristiwa itu, rasanya tetap saja sulit untuk bisa percaya. Dilihat dari penampilannya, nenek itu bukan orang yang berkecukupan. Bagaimana mungkin dalam kekurangannya dia mau mengorbankan sisa uangnya untuk saya? Untuk seorang bocah yang baru dikenalnya malam itu.

Sumber : ANdy's Corner - KickAndy.Com

Kaca Spion (Andy F Noya)

Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan
Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke
sana . Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar
perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun
baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh
dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat
sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini
gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya
juga masih sama.
Tapi mengapa rasanya jauh berbeda? malamnya, soal gado-gado itu saya
ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi
ada hal lain yang membuat saya gundah.

Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu
mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit
saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari
buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan
buku membuat saya merasa begitu bahagia.
Biasanya satu sampai dua jam saya di sana. Jika masih ada waktu, saya
melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku
baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum
meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado
di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam.
Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero
Jakarta. Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong.
Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya
pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari
kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan
Siapa Orang Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian
Bisnis Indonesia . Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA.
Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian
Media Indonesia dan Metro TV.
Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di
sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya
menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan
kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi
menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika
suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil
sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak
ingin menjadi sombong karenanya.
Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya .
Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas
dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan
tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain
bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil.
Kaca spion mobil itu patah.
Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer
saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah
saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang
sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah
garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya
disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar
yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya.
Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya
tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar
keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. dengan suara
keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta
ganti rugi atas kerusakan mobilnya.
Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak
bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca
spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang
senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang
mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos
menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu
dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan
ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari
menjahit itulah kami - ibu, dua kakak, dan saya - harus bisa bertahan
hidup sebulan.

Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut.
Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk
mengambil uang.
Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan
uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir
bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu
ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah
artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat
kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?

Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat
wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci
pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya
benci orang kaya.

Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban
mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya.
Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan
orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang
gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik,
diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya
bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya
puas. Ada dendam yang terbalaskan.

Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang
kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil
mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka
tidak punya hati nurani.

Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa
kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu
tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah
berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan
kepada istri. Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa
bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu
karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan.
Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan.
Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba
makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya. Ketika
dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, "Kamu
berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras." Tidak mudah untuk
untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan
meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat.

Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada
ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi
sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang
berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi
sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.

Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak
sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca
spionnya saya tabrak. Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam
hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah
satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang.
Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik,
ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat
untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor
yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang
dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh.
Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain
karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok. Hanya dalam
sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa
dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion.

Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung.

Sang ibu, yang ecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta
maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia
berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut
ganti rugi.
Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas
segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada
saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu.
Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.
Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan
begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang
itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti
yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman
hidup yang pahit.

Rama, Jean, dan Perjuangan Hidup

Kecenderungan hanya menggerutu dan mengeluh bisa jadi merupakan
isyarat sebenarnya dari semangat yang kerdil dan kebodohan
seseorang."
� Lord Jeffrey, Scottish judge, 1773 - 1850

NAMANYA Eko Ramaditya Adikara. Ia seorang blogger, penulis,
jurnalis, dan juga game music composer. Pekerjaan yang nampaknya
biasa saja. Karena toh banyak orang yang melakukan hal yang sama.
Menjadi tidak biasa, karena Rama, begitu panggilan akrabnya,
menjalani semua tugasnya dalam keadaan buta. Rama merupakan seorang
tunanetra. Dalam blognya, ia menyebut dirinya sebagai the Indonesian
blind blogger. Rama mampu menulis artikel di atas papan ketik
komputer enam puluh kata per menit. Kemampuan yang setara dengan
kemampuan tukang ketik profesional. Lantas bagaimana caranya Rama
dapat membaca pesan atau teks yang ada di layar monitornya? Dengan
kemajuan teknologi yang semakin canggih, Rama dapat membaca teks di
layar monitor dengan menggunakan aplikasi pembaca layar bernama
JAWS. Dengan piranti lunak tersebut, Rama dapat mendengar suara yang
dikeluarkan. Piranti lunak tersebut mengubah teks menjadi suara atau
text to auto speech. Bila Rama ingin membaca suatu buku, Rama akan
memindai atau menscanning terlebih dahulu halaman demi halaman buku
tersebut, lalu diubah ke dalam bentuk teks. Rama memang dilahirkan
buta sejak lahir. Cacat yang dideritanya tak menghalanginya untuk
tetap melakukan aktifitas kesehariannya seperti layaknya orang
normal yang dapat melihat. Bahkan Rama terlecut untuk terus
berkreatifitas. Rama bahkan telah berhasil menerbitkan buku yang
ditulisnya sendiri.

NAMANYA Jean-Dominique Bauby. Pria asal Perancis, lebih dikenal
sebagai jurnalis, penulis, dan editor Majalah Elle, majalah fesyen
terkemuka terbitan Perancis. Maret 1997, Jean meninggal dunia dalam
usia 45 tahun. Tahun 1995, dalam usianya yang terbilang muda, 43
tahun, Jean terkena stroke. Suatu penyakit yang dikenal dengan nama
Locked-in Syndrome. Jean tak sadarkan diri selama 20 hari setelah
stroke menyerangnya. Ketika terbangun, Jean tak dapat menggerakkan
seluruh tubuhnya. Termasuk menelan ludah pun Jean tak mampu. Ia
hanya dapat menggerakkan satu bagian tubuhnya, yaitu mengedipkan
mata kirinya. Walau Jean mengalami lumpuh total, tapi ia masih dapat
berpikir dengan jernih. Sebelum meninggal, ia telah menyelesaikan
memoarnya yang berjudul 'Le scaphandre et le papillon' atau dalam
versi Inggrisnya, 'The Diving Bell and The Butterfly'. Bagaimana ia
dapat menulis sementara seluruh tubuhnya tak dapat bergerak? Dalam
menyusun bukunya tersebut, Jean berkomunikasi dengan perawatnya,
Henriette Durand. Ia akan memilih huruf dan tanda baca yang akan
dipilihnya dengan mengedipkan mata kirinya. Diperlukan sekitar 200
ribu kedipan mata kiri untuk menyelesaikan buku tersebut. Untuk
setiap huruf yang dipilih, dibutuhkan rata-rata sekitar 2
menit. 'The Diving Bell and The Butterfly' dalam edisi Bahasa
Perancis diluncurkan Maret 1997. Dan hanya dalam waktu satu minggu,
telah terjual lebih dari 150 ribu eksemplar. Sepuluh hari setelah
bukunya dipublikasikan, Jean menghembuskan nafas terakhirnya akibat
pneumonia.

Benang merah apa yang dapat ditarik dari dua kisah di atas? Rama dan
Jean memang memiliki keterbatasan. Tetapi tidak berarti bahwa dengan
keterbatasan yang ada, kehidupan lantas terhenti. Adanya masalah dan
juga keterbatasan, membuktikan bahwa kehidupan ada dan terus
berjalan. Paul Gordon Stoltz dalam bukunya `Adversity Quotient,
Turning Obstacles Into Opportunities' , mengatakan bahwa seseorang
manusia yang tangguh dapat dilihat dari daya tahannya ketika
mendapatkan masalah dan seberapa tangguh mereka menghadapi masalah
tersebut. Inilah yang disebut dengan adversity quotient.

Apa yang dilakukan oleh Rama dan Jean menunjukkan bahwa mereka tidak
tinggal diam atas segala keterbatasan yang dimiliki. Itulah yang
harus kita lakukan bila mendapati masalah. Hadapi. Dan cari solusi
yang terbaik. Bukan dengan mengeluh. Mengeluh dalam batasan-batasan
tertentu bisa jadi merupakan hal yang manusiawi. Tetapi apakah
mengeluh merupakan suatu solusi?

So, betapapun sulitnya masalah yang menimpa kita dan betapapun
hebatnya krisis global yang melanda negeri ini, kita harus siap
untuk menghadapinya. Kualitas hidup seseorang juga akan terlihat
bagaimana ia mengatasi masalah tersebut. Oleh karena itu, hadapi dan
selesaikan segala persoalan yang menghadang. Rama dan Jean dengan
keterbatasannya, mampu melakukan sesuatu yang berguna, bahkan
berprestasi. Nah pertanyaannya, bila mereka mampu, bukankah kita
juga, minimal, mampu melakukan hal yang sama? Bahkan mungkin lebih
dari mereka. Ya, why not. (011208)

Sumber: Rama, Jean, dan Perjuangan Hidup oleh Sonny Wibisono,
penulis, tinggal di Jakarta

Belajar Rendah Hati dari Nelayan

Pada suatu sore yang cerah, seorang cendekiawan ingin menikmati pemandangan laut dengan menyewa sebuah perahu nelayan dari tepi pantai. Setelah harga sewa
per jam disepakati, keduanya melaut tidak jauh dari bibir pantai. Melihat nelayan terus bekerja keras mendayung perahu tanpa banyak bicara, sang cendekiawan
bertanya: "Apa bapak pernah belajar ilmu fisika tentang energi angin dan matahari?"
"Tidak" jawab nelayan itu singkat.
Cendekiawan melanjutkan " Ah, jika demikian bapak telah kehilangan seperempat peluang kehidupan Bapak"
Nelayan cuma mengangguk-angguk membisu.
"APa bapak pernah belajar sejarah filsafat?" tanya cendikiawan.
"Belum pernah" jawab nelayan itu singkat sambil menggeleng-gelengka n kepalanya.
Cendekiawan melanjutkan " Ah, jika demikian bapak telah kehilangan seperempat lagi peluang kehidupan Bapak". Si Nelayan kembali cuma mengangguk-angguk
membisu.
"APa bapak pernah belajar dan bisa berkomunikasi dengan bahasa asing?" tanya cendikiawan.
"Tidak bisa" jawab nelayan itu singkat.
"Aduh, jika demikian bapak total telah kehilangan tigaperempat peluang kehidupan Bapak"
Tiba-tiba... ..
Angin kencang bertiup keras dari tengah laut. Perahu yang mereka tumpangi pun oleng hampir terguling. Dengan tenang Nelayan bertanya kepada cendekiawan
" Apa bapak pernah belajar berenang?"
Dengan suara gemetar dan muka pucat ketakutan, orang itu menjawab "Tidak pernah"
Nelayanpun memberi komentar dengan percaya diri "Ah, jika demikian, bapak telah kehilangan semua pe luang hidup bapak"...... ......... ......... ......... .

Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah di atas:
list of 3 items
� Jangan meninggikan diri lebih hebat dari orang lain
� Jangan sombong, sebab akan direndahkan Tuhan
� Kita semua memiliki keterbatasan dan memerlukan orang lain.