Wednesday, May 6, 2009

Kisah Karpet

Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih, bersih & teratur dan suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya.

Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu:

"Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan"

Ibu itu kemudian menutup matanya.

"Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?"
Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.

Virginia Satir melanjutkan; "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka.�

�Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi".

Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, nafasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.

"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu".

Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb.

"Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya

"Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?"

Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Aku tahu maksud anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif".

Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut
pandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif,

salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.

Terlampir beberapa contoh pengubahan sudut pandang :

Saya BERSYUKUR;

1. Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan,
karena itu
artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain

2. Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV,
karena itu
artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.

3. Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal,
karena itu
artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan

4. Untuk Tagihan kartu kredit yang cukup besar,
karena itu
artinya saya harus bekerja untuk bayar cicilan

5. Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan,
karena itu
artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman

6. Untuk pakaian yang mulai kesempitan,
karena itu
artinya saya cukup makan

7. Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari,
karena itu
artinya saya masih mampu bekerja keras

8. Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah,
karena itu
artinya masih ada kebebasan berpendapat

9. Untuk bunyi alarm keras jam 5 pagi yg membangunkan saya,
karena itu
artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup

10. Untuk dst...

(Dari milis Air Putih)

Eksekutif Itu Kini Jadi Pengantar Pizza !

ABC: KEN Karpman bersama keluarga menjalani kehidupan sederhana.

Krisis ekonomi di AS membuat seorang eksekutif bergaji Rp 8,8 miliar per tahun jatuh bangkrut. Untuk bertahan hidup, sang eksekutif pun akhirnya menjadi pengantar pizza dengan upah rendah. RESESI di Amerika Serikat memang begitu kejam. Tak hanya raksasa bisnis yang silih berganti bertumbangan. Bagi warganya pun, krisis kali ini benar-benar bisa mengubah nasib mereka 180 derajat. Tengok saja apa yang terjadi pada seorang eksekutif bernama Ken Karpman ini.

Selama 45 tahun, Hidup Ken Karpman nyaris sempurna. Lulus dari universitas bergengsi UCLA ( University of California ) dengan gelar MBA, Karpman langsung mendapat pekerjaan sebagai pialang saham. Dia pun kemudian menikahi gadis impiannya, Stephanie, dan dikarunia dua anak. Bersama, mereka telah berkeliling dunia dalam paket liburan yang mahal tiap tahun.

Sekitar 20 tahun meniti karir sebagai pialang, Karpman pun naik jabatan dalam perusahaannya. Gajinya turut melonjak mencapai US$750.000 (sekitar lebih dari Rp 8,8 miliar) per tahun. �Saat itu hidup begitu indah. Kami bisa menghasilkan banyak uang. Entah mengapa situasi itu kok tidak berlanjut?� kata Karpman dalam wawancara khusus dengan stasiun televisi ABC.

Dari seluruh sisi kehidupan mereka, Ken dan Stephanie Karpman menikmati benar gaya hidup kelas atas. Mereka tinggal di wilayah elite, Tampa , Florida . Bahkan mereka memiliki satu lapangan golf seluas 400 kaki persegi. Untuk urusan uang, bisa dibilang keluarga ini tidak ada masalah. �Saya tidak pernah memperhatikan harga saat membeli sesuatu di toko,� ujarnya. �Saya hanya tinggal masukkan barang apa pun yang saya inginkan ke dalam troli dan membayar berapa pun harganya,� lanjut Karpman.

Karpman sangat percaya diri dengan keberuntungannya. Dengan dukungan ekonomi kuat, dia meninggalkan pekerjaannya pada 2005 untuk memulai usahanya sendiri yang sejenis dengan pekerjaan lamanya. Untuk mendirikan perusahaan sendiri sekaligus meningkatkan taraf hidup, Karpman dengan enteng mengeluarkan dana US$500.000 dari tabungannya. Seperti kebiasaan orang-orang Amerika, Karpman juga mengajukan kredit dalam jumlah besar dengan jaminan rumah.

Namun nasib berkata lain. Keberuntungan itu berbalik arah. Seiring dengan badai krisis yang menghantam Negeri Paman Sam, Karpman pun tak mampu menarik para investor. Akibatnya, dia dipaksa untuk menggulung tikar perusahaannya. Bahkan kini dia tidak memiliki pekerjaan. Dia pontang-panting memasuki banyak bursa kerja, namun hasilnya pun nihil.

Itu tidak pernah dialami Karpman di masa lalu. Urusan pekerjaan kala itu begitu sangat mudah. �Dulu, ketika saya diwawancara untuk kerja, saya bisa bersikap kurang ajar karena saya seolah balik mewawancara orang bagian HRD apakah perusahaannya memang layak memperkerjakan saya,� ujarnya. �Kini, seolah Anda harus memelas dan bahkan mengemis-ngemis untuk bisa bekerja,� tambahnya.

Mengantar Pizza

Setelah satu masa sulit yang panjang dan pencarian kerja yang sia-sia, keluarga Karpman kehabisan uang tabungan untuk keperluan sehari-hari. Bahkan mereka dililit utang ratusan ribu dollar. Rumah mewah mereka pun terancam disita oleh bank. Membutuhkan uang segar dengan segera untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, Karpman mencoba menemukan pekerjaan. Apapun akan dilakukannya, tidak lagi pilih-pilih pekerjaan, meski itu menurunkan derajatnya. Ia mencoba melamar menjadi bartender namun ternyata hanya penolakan yang ia dapat.

Akhirnya, dia membawa mobil Mercedes-nya ke ke Mike�s Pizza & Deli Station di Clearwater dan melamar kerja. Mike Dorado, pemilik toko pizza itu, mengatakan dirinya terkejut ketika membaca curiculum vittae Karpman. Untuk menjadi pengantar pizza dari rumah ke rumah tak perlu harus bergelar MBA dan berpengalaman sebagai manajer pialang saham. Dengan kata lain, Karpman tergolong over-qualified (bobot pendidikan dan pengalaman kerja terlalu tinggi untuk posisi kerja yang dia lamar). Bagaimanapun, yang ada hanya lowongan sebagai pengantar pizza.

Bahkan, sang istri Stephanie Karpman lebih terkejut lagi saat Ken tiba di rumah dengan pekerjaan barunya. �Kamu tidak bercanda, kan ?� kata Stephanie. �Mengantarkan pizza. Tidak pernah terpikirkan olehku, bahkan dalam mimpi terliarku sekalipun untuk melakukan itu,� lanjutnya.

Gaji Karpman terjun bebas. Dari enam digit per jam menjadi hanya USD 7,29 (RP. 85.000) per jam plus tips, satu angka yang terbilang sangat kecil untuk ukuran AS.

Namun itu adalah uang yang sepatutnya ia syukuri. �Ini adalah proses terjun bebas, luar biasa bagaimana begitu banyak hal yang Anda katakan, �saya tak bisa melakuan itu� untuk menolak karena gengsi, tapi seminggu kemudian anda katakan, �Ya... saya bisa melakuan itu,�� ujarnya.

�Saya tidak akan meniti karir di bidang ini, namun akan mendapatkan sesuatu yang lebih di masa depan, itu yang akan saya lakukan untuk tetap menjaga agar dapur tetap mengepul,� lanjutnya.

Tekanan ini memang sempat memberi sedikit dampak pada pernikahan mereka. Stephanie mengatakan dirinya tidak ingin suaminya meninggalkan pekerjaan sebagai pialang dan berharap suaminya itu punya tabungan yang lebih. Tapi itulah fakta yang harus diterimanya. �Tidak perlu bertanya di mana letak kesalahannya,� ujar Ken Karpman. Dan ketika harus menunjuk kambing hitam, �Saya akan menunjuk ke arah saya,� tegasnya.

Dari pengalamannya ini, Karpman menyadarai, setiap hari membawa satu pelajaran baru dalam kehidupan dengan sedikit harta dan lebih banyak kerendahan hati. �Pizza adalah langkah maju,� tandasnya.

Saat Karpman menghitung setiap sen yang dia terima, dia masih berharap bisa kembali ke posisinya yang dulu dan kembali ke gaya hidup papan atas yang sekan tak bisa lepas dari tangan. �Saya butuh beberapa kemenangan,� ujarnya. �Semoga, itu akan segera kembali,� lanjutnya.